Di Ujung Pertemuan yang Tak Terlupakan

Posted on

Di Ujung Pertemuan yang Tak Terlupakan

Hari itu biasa saja, tidak ada something spesial yang terjadi. Keesokan harinya, Mas Bagas mengajakku pergi makan dan jalan-jalan di mall. Eh.., ternyata dia mengajak ceweknya. Ternyata ceweknya ini kost cuma sekitar 300 meter dari rumah Mas Bagas. Namanya Yeni tapi pangg*lannya Yeyen. Anaknya cakep juga, masih kuliah, umurnya 21 tahun.

Kulitnya putih kekuningan meskipun keturunan Jawa tulen, tingginya sekitar 164 cm, beratnya 46 kg, tapi pinggulnya cukup besar, bodinya asyik juga, dan p*yud*ranya lebih besar dari rata-rata cewek Indonesia. So, dengan mobil Panther itu Mas Bagas dan Yeyen duduk berdua di depan sedangkan aku yang duduk di bagian tengah dicuekin oleh mereka. Kami berputar-putar di Tunjungan Plaza, makan di sebuah restoran sea food sampai kenyang lalu kembali lagi ke tempat kos Yeyen.

Lalu setelah mobil diparkir, kami bertiga masuk ke tempat kosnya dan langsung masuk kamarnya. Hmm.., sempat terpikir olehku, sebenarnya itu tempat kos cewek atau cowok, soalnya ada beberapa ciban yang nongkrong di situ. Di dalam kamar Yeyen, aku disetelin sebuah VCD p*rn*, sambil diberi coklat Silver Queen, sementara Mas Bagas dan Yeyen bermesraan berdua, berc*uman dan berc*mbu.

Ah.., aku juga sempat berkenalan dengan adik Yeyen yang bernama Lenny, yang mondar-mandir keluar masuk kamar. Lenny bertubuh lebih pendek dari Yeyen, lebih coklat kulitnya, dan bodinya lebih langsing, cuma sayangnya p*yud*ra dan pant*tnya juga lebih “tidak menantang” dibandingkan Yeyen.

Cuma yang lebih disayangkan lagi Lenny seorang per*kok berat dan hari itu dia sedang sakit tenggorokan. Setelah selesai menyetel VCD-nya sampai 45 menit non-stop, Aku matikan TV dan playernya. Eh, tiba-tiba Mas Bagas nyeletuk, “Don.., kasih waktu 5 menit, dong..?”

Aku sudah mulai merasakan gelagat kurang baik dari pasangan itu. Tapi ya terpaksa, aku melenggang keluar kamar, tapi baru sampai di pintu, aku lihat di ruang tamu banyak ciban yang lagi ngobrol dengan Lenny sambil mer*kok. kemudian akupun kembali ke kamar Yeyen.

Lalu aku berkata, “Ah tidak usah dech, aku di sini saja, lagi tidak mood ngobrol sama orang-orang itu. Lakuin saja deh, aku tidak ngeliat”. Terus terang saja Mas Bagas kaget, “Heh! Kon ‘jik cilik ngono kok..” (kamu itu masih kecil gitu kok). Kesel juga aku dibilang masih kecil.

Lalu aku berusaha meyakinkan mereka, “Jangan kuatir lah.., aku sudah biasa kok ngeliatin ginian..”
Akhirnya setelah beberapa perdebatan ringan dan berkat kelihaianku berdiplomasi mereka mengijinkan juga aku untuk di dalam kamar saja, tapi dengan syarat aku tidak boleh macam-macam apalagi melaporkan ke orang tuanya. Setelah pintu kukunci, aku cuma bersandar saja di pintu dengan perasaan gembira.

Mas Bagas lalu tidur telentang di ranjang, lalu Yeyen mulai jongkok di atasnya dan menc*umi wajah Mas Bagas, sedangkan Mas Bagas cuma diam saja, matanya merem, tangannya mengusap-usap punggung Yeyen. Sesekali Yeyen melihat ke arahku, mungkin memeriksa apakah aku mulai terangs*ng, dan memang benar aku terangs*ng.

Dan juga melihat gerakan Yeyen yang kelihatannya sudah “professional” dan c*uman-c*umannya yang ganas seperti di film **, sepertinya Yeyen ini bukan pertama kalinya mak*ng love. Yeyen mulai menc*umi Mas Bagas langsung ke mulutnya, dan beberapa kali mereka bersilat l*dah dan terlihat jelas karena jarakku dan jarak mereka berdua cuma sekitar 3 meter.

“Hmmhh.., hmmhh..”, mereka berc*uman sambil mendes*h-des*h, membuatku yang sejak tadi sudah tegang memikirkan hal yang tidak-tidak jadi semakin tegang saja. Setelah puas mel*mat bibir dan l*dah Mas Bagas, Yeyen mulai bergerak ke bawah, menc*umi dagunya, lalu lehernya.

Mas Bagas ketika itu mengenakan T-Sh*rt yang di bagian kerahnya cuma ada dua kancing, so karena Mas Bagas terlalu besar badannya (gemuk) maka Yeyen cuma menyingkapkannya dari bawah lalu menc*umi d*d*nya yang montok dan putih. Mas Bagas ini memang WNI Keturunan Cina.

“Hmmhh.., aduh Yen nikmat Yen..”, begitu rint*han Mas Bagas. Yeyen menc*uminya kadang cepat, lalu lambat, cepat lagi, memang sepertinya begitu style anak yang satu ini. Sedangkan aku semakin tidak tahan saja, kepingin juga d*d*ku dic*umin oleh cewek, uhh.., tapi aku masih menahan diri dan terus menempel pada pintu.

“Ihh.., hmmh.., hh.., ihh..”, Mas Bagas terus mendes*h sementara Yeyen mulai menc*umi perutnya, lalu pusarnya, sesekali Mas Bagas berteriak kecil kegelian. Karena aku sangat terangs*ng, aku mulai mer*ba-r*ba diriku sendiri. “Sialan!” pikirku, “Ngapain juga gitu ahh..

Akhirnya Yeyen mulai membuka risleting Mas Bagas, pertamanya pelan sekali, namun tiba-tiba “wrett” ditarik dengan cepat sekali sehingga Mas Bagas kaget, matanya terbuka sebentar, lalu tersenyum dan merem kembali, sedangkan kedua tangannya mengelus-elus rambut Yeyen.

Yeyen langsung memegang-megang kem*lu*n Mas Bagas dan digosok-gosok dengan tangannya dari luar, “Ahh.., hh.., Hmmhmh.., Ohh Yenn..”, Mas Bagas cuma bisa mendes*h. Lalu setelah puas menggosoknya dari luar, dia mulai menyingkap cel*na d*lam Mas Bagas dan tersembullah kem*lu*n Mas Bagas yang sudah tegang keluar dari sarangnya.

“Nylupp!”, Kem*luan Mas Bagas langsung dik*lum oleh Yeyen. Stylenya masih seperti tadi, kadang pelan, lalu cepat, kadang pelan, lalu cepat, bikin kaget saja ini anak main s*ksnya. Sementara Mas Bagas sibuk mer*mas-r*mas rambut Yeyen saking enaknya, aku yang tidak kuasa menahan n*fsu sibuk mer*mas-r*mas kem*lu*nku sendiri sambil tetap bersadar di pintu.

Ahh.., aku benar-benar merasa serba salah waktu itu, dan mereka tidak mengacuhkanku sama sekali. Dasar.., Yang membuataku nyaris tertawa karena kem*lu*n Mas Bagas yang sepertinya keseretan gara-gara Yeyen tidak melepaskan cel*na d*lam Mas Bagas terlalu ke bawah, jadi seperti tercekik dech.

“Ehmm.., Ehmm..” Mungkin sekitar 5 menit Yeyen meng*lum kem*lu*n Mas Bagas, ternyata selama itu juga dia belum keluar sama sekali, Yeyen bilang, “Zan.., sekarang giliran kamu yach?” Mas Bagas cuma tersenyum, lalu dia bangkit sambil melepaskan celana panjang dan cel*na d*lamnya, sedangkan Yeyen sekarang yang ganti tiduran, lalu memejamkan mata.

Sedangkan aku benar-benar kebingungan dan tidak tahu mau berbuat apa, aku benar-benar pingin buka baju dan join dengan mereka tapi ahh.., kacau sekali pikiranku ketika itu. Mas Bagas mulai melakukan persis apa yang dia lakukan ke Yeyen sebelumnya.

Nyaris persis sama, aku sampai heran apa memang sudah janjian ya mereka. Mas Bagas mulai menc*um bibir Yeyen, cuma Mas Bagas menc*umnya dengan stabil, pelan terus, berbeda dengan Yeyen yang style s*ksnya aku akui lumayan unik. “Hmmh.., mymmynm..”, Sayang Mas Bagas sepertinya tidak profesional, cara menc*umnya walau pelan, terlalu tergesa menuju ke bawah.

Yeyen mencoba melepaskan t-sh*rt Mas Bagas, lalu Mas Bagas langsung melepasnya dan meletakkan di sebelahnya. Mas Bagas pun mulai menc*umi leher Yeyen. Sementara tangannya mer*ba-r*ba p*yud*ra Yeyen yang aduhai, “Hmhmhhm.., Hmhmhmh..” Mereka berdua terus mendes*h keenakan.

Aduh, pemandangan yang cukup menggelikan sekaligus mengga*rahkan itu benar-benar membuatku kewalahan pada diriku sendiri, diam-diam aku mulai melepaskan t-sh*rt yang kupakai dan mengger*yangi tubuhku sendiri. Mas Bagas mulai tidak sabar dan langsung mencopoti kancing demi kancing yang ada di kemeja yang dikenakan Yeyen.

Tersembullah p*yud*ra Yeyen yang begitu aduhai, putih mulus sekali seperti p*yud*ra Chinese, Yeyen segera mengangkat punggungnya, lalu Mas Bagas mencopot kancing **-nya yang berwarna krem. Wah.., p*yud*ra Yeyen benar-benar besar dan mengga*rahkan dengan p*ting s*s*nya yang tebal dan berwarna coklat tua.

“Ahh.., Hmm.., Hmm..”, Mereka berdua saling melenguh setiap kali Mas Bagas memainkan lid*hnya di atas p*yud*ra dan p*ting s*s* Yeyen. “Hmmh.., Hmhh..”, Setelah puas mel*mat p*ting s*s* Yeyen bergantian, Mas Bagas akhirnya menjil*ti perut Yeyen dan ingin melepaskan roknya.

Yeyen mengangkat pant*tnya, lalu Mas Bagas membuka risleting r*knya dan pelan-pelan melepaskan r*k yang dipakai Yeyen. Setelah sampai di lutut, Mas Bagas berhenti dan langsung menc*umi kem*lu*n Yeyen yang masih tertutup cel*na d*lam itu dengan cepat dan g*nas.

“Ahh.., Ahh..”, Yeyen meng*rang dan mendes*h keras keenakan. Aku yang sejak tadi terangs*ng menjadi semakin terangs*ng mendengar des*han Yeyen yang sangat mengga*rahkan, membuatku tidak tahan dan mulai memegangi kem*lu*nku sendiri, menggesek-gesekkannya dengan tanganku.

Akhirnya Mas Bagas melepaskan cel*na d*lam Yeyen dan langsung menc*umi kem*lu*nnya dengan g*nas sekali. Rambut di kem*lu*n Yeyen cukup tipis, sehingga memudahkan Mas Bagas menjil*tinya sepuasnya. Sesekali kudengar “Slurrp.., slurrp..”, sepertinya Mas Bagas suka sekali menyedot kem*lu*n Yeyen.

“Ahh.., Zan.., Ahh.., Zan.., Enak Zan..”, des*han Yeyen semakin keras saja karena merasa nikmat, seakan tidak peduli kalau terdengar orang di luar. Tidak berapa lama kemudian, Mas Bagas berhenti lalu bertanya, “Yen, boleh sekarang?” Sambil tetap merem, Yeyen cuma tersenyum dan mengangguk.

“Pelan-pelan yach..”, bisik Yeyen mesra. Kemudian Mas Bagas memasukkan pen*snya ke dalam kem*lu*n Yeyen, “Uh.., uhh.., Ahh..”, Sedikit kesulitan yang mereka hadapi, sekarang Mas Bagas sudah mulai asyik menggesek-gesekkan pen*snya dalam v*gin* Yeyen. “Ahh.., ahh.., aduh.., ahh..”,

Mereka berdua saling mendes*h sambil terus melanjutkan permainannya. Yeyen masih tetap dengan stylenya, kadang menarikan pinggulnya pelan-pelan, lalu cepat, pelan lagi. “Ahh.., Ahh.., Ahh..”, Mas Bagas memaju-mundurkan badannya pelan-pelan sedangkan Yeyen asyik menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan tempo yang tidak beraturan.

Aku jadi semakin tidak tahan melihat apa yang mereka lakukan, aku segera berjalan menuju kamar mandi, langsung kulepas celana panjang dan cel*na d*lamku dan kugesek-gesek kem*lu*nku sendiri cepat-cepat.
“Ahh.., Hmmh.., Ahh..”, Aku mendes*h-des*h kecil dengan apa yang kulakukan terhadap diriku sendiri.

Lalu.., “aahh..”, Aku org*sme, sp*rmaku semuanya terjatuh di lantai kamar mandi. Tubuhku rasanya nikmat sekali beberapa saat, lalu terasa lemas dan sepertinya aku merasa bersalah telah melakukannya. Aku segera menyiram ceceran sp*rma di lantai kamar mandi, melepas seluruh bajuku dan mandi.

Setelah segar, aku hampir tidak percaya waktu keluar ternyata mereka masih saja bermesraan bers*tubuh. Aku langsung berjalan keluar kamar, sedangkan mereka tidak menghiraukanku sama sekali, benar-benar g*la..!
Di luar, aku duduk-duduk saja di ruang tamu sambil ngobrol dengan Lenny dan teman-temannya yang kebetulan ciban semua.

Mereka menawariku rokok tapi aku tolak. Setelah beberapa menit melakukan percakapan yang membosankan dan bikin mual, aku cuek saja dan asyik melihat TV, sambil menunggu Mas Bagas dan Yeyen selesai melakukan aktivitasnya. Menit demi menit berlalu, g*la.., lama sekali.

Sekitar satu jam kemudian, muncullah mereka berdua dari pintu kamar Yeyen. “Gilaa..”, pikirku, lama sekali mereka begituan. Mas Bagas dan Yeyen tersenyum geli pertama kali melihatku, mungkin mereka menganggap tingkahku di dalam kamar tadi lucu, lalu Mas Bagas bertanya.

“Don, kamu mau ikut renang?”.
“Mau sich.., tapi aku tidak bawa celana renang tuch..”, jawabku agak kecewa.
“Tidak pa-pa kok, ntar kita bisa pinjam celana renang di sana..”.

Ya sudah, akhirnya jadi dech.., Setelah berpamitan, Mas Bagas dan aku pulang. Di rumah kami langsung mempersiapkan segala kebutuhan renangnya. Jam menunjukkan sekitar pukul 16.30, kami bersiap pergi. Tepat waktu Mas Bagas hendak menyalakan mobil, ada suara teriakan.

Ternyata sepupu Mas Bagas, “Mobilnya mau dibawa papanya lho..”, katanya.
“Sial!” gerutu Mas Bagas.
Terus akhirnya Mas Bagas telepon taksi, beberapa menit kemudian datang, lalu kami ke tempat kos Yeyen dulu untuk menjemput Yeyen.

Eh, ternyata tidak hanya Yeyen yang ikut, tapi adiknya, Lenny, diajak serta. Aku tanya pada Lenny,
“Lho, kok kamu ikut, katanya sakit tenggorokan. Nanti ikut renang?”.
“Iya dong.., tidak Papa, nemenin Yeyen nich..” jawabnya enteng.
Wah, nekat juga ini anak, pikirku.

Taksi kami langsung meluncur ke Graha Residen, di sana ada kolam renangnya yang cukup besar dan ramai, termasuk para turis. Yeyen, Lenny, dan aku yang belum bisa berenang cuma berputar-putar saja di pinggiran, sedangkan Mas Bagas berkelana ke sana ke mari dengan bebasnya.

Waktu ada kesempatan, aku tanya pada Mas Bagas soal Yeyen. Ternyata dia baru kenal Yeyen dua minggu, dan pertemuan pertamanya di kolam renang. Seminggu kemudian mereka langsung pacaran, lalu besoknya mereka melakukan hub*ngan badan.

Mas Bagas baru pertama kali itu bersengg*ma, sedangkan Yeyen sepertinya sudah berkali-kali, soalnya kata Mas Bagas, Yeyen sudah tidak per*wan lagi. Mas Bagas juga bilang, “Kata Yeyen tuh si Lenny masih per*wan, dianya agak menyesal juga pacaran sama Yeyen, bukan sama Lenny yang masih per*wan”.

Aku sempat ngobrol juga sama Lenny, yang sepertinya cuma bersandar saja di pinggiran. Sekitar jam 19.00 kami selesai renang dalam keadaan menggigil kedinginan, lalu setelah itu memanggil taksi Zebra, karena entah kenapa, Graha Residen hanya menyediakan taksi Zebra.

Tidak kuduga, ternyata taksinya lama sekali datangnya, kami ngobrol-ngobrol lama juga. Mas Bagas asyik ngobrol dengan Yeyen, sedangkan Lenny yang kelihatannya dicuekin mulai kuajak ngobrol. Ternyata Lenny ini masih SMU kelas 2. Selain suka r*kok, katanya dia juga suka min*man k*ras.

Hmm, aku jadi mikir apakah dia juga suka obat-obatan dan.., free s*ks. Tapi aku tidak berani menanyakannya, terlalu dini ah. cuma yang aku perhatikan, Lenny agak tersipu-sipu menjawab pertanyaanku, dan dia tidak berani menatapku secara langsung, malah sepertinya menunduk terus. Good sign, pikirku.

Mungkin sekitar setengah jam kemudian baru taksinya datang. Lama banget sich.. Akhirnya sampai juga, setelah mengantarkan Yeyen dan Lenny, saya dan Mas Bagas pulang. Aku asyik memikirkan pengalamanku barusan, memperhatikan orang melakukan hubungan s*ks.

Sekitar jam 20.30, Mas Bagas mengajakku pergi, mau mengembalikan VCD. Ya sudah, aku ikut saja, siapa tahu diajak makan juga, berhubung perutku mulai lapar nich. Walau naik sepeda motor, kami tidak pakai helm, katanya tempat persewaan VCD-nya dekat.

Eh, ternyata memang dekat sekali dan tidak melewati jalan raya. Setelah itu Mas Bagas bertanya, “Don, aku mau mampir ke tempat Yeyen nich.. Kamu ikut tidak?”. Walau perutku agak keroncongan, berhubung aku “kangen” juga sama Lenny, pingin ngerjain gitu, akhirnya aku setuju.

Sesampainya di sana, ternyata banyak orang nongkrong di ruang tamu rumah kos itu. Uniknya, yang cewek cuma dua, Yeyen dan Lenny, lainnya ciban semua, ada 4 orang. Aneh sekali, pikirku. Begitu sampai, Mas Bagas langsung berc*uman dengan Yeyen lalu mereka langsung masuk kamar dan.., klik, Aduh.., mau ngapain lagi mereka, g*la bener..

Terpaksa, karena aku sudah telanjur di sana, aku ngobrol dengan orang-orang di situ. Aku sebetulnya lebih suka mengobrol dengan Lenny, tapi sayang teman-temannya selalu menggangguku. “Ih kamu ganteng dech, kita main s*ks yuk..”. Agak senang juga aku dipuji tapi main s*ks dengan mereka, mimpi saja tidak.

Lalu akhirnya aku punya ide, aku tanya Lenny,
“Kamu satu kamar sama Yeyen, yach?”
“Tidak tuch, aku sewa kamar sendiri”, jawabnya.
Kebetulan, pikirku, “Hmm.., di mana tuch, aku lihat dong..”

Sesuai perkiraanku, akhirnya dia mau menunjukkan kamarnya. Kamarnya persis di depan kamar Yeyen, dan lebih tidak rapi dibanding kamar Yeyen. Sambil pura-pura mengamati kamarnya, aku lalu menutup pintu agar dia tidak curiga, aku langsung bertanya padanya, “Kamu suka tinggal di sini?”.

Lalu akhirnya kami ngobrol dan bercanda di atas ranjangnya, bersandar di tembok. Seperti yang kuduga, dia masih terus menunduk tersipu-sipu menjawab pertanyaanku, tidak seperti waktu dia ngobrol dengan teman-temannya, menguatkan istingku kalau sebetulnya dia suka padaku.

Di tengah-tengah obrolan, aku tanya,
“Lenny, kamu kan suka nger*kok, apa tidak dimarahi cowokmu tuh?”.
Dia tertawa kecil, lalu menjawab, “Suka-suka aku dong, Don, aku belum punya cowo tuch..”.

Ahh.., kebetulan sekali, pikirku, lalu aku menggodanya,
“Ah masa..? Aku tidak percaya ah.., Kamu kan cantik.., pasti banyak cowok yang ngelirik kamu..”
Rupanya dia agak GR juga dengan pujianku, lalu sambil ketawa lirih dia cuma bilang, “Ah kamu..”.

“Iya bener lhoh..” Dia diam sebentar, lalu dia menoleh ke arahku, dan mulai memandangku. Aku menatapnya, lalu aku tersenyum. Kami berpandangan beberapa saat. Hmm, betapa cantiknya dia, pikirku. Merasa ada kesempatan, segera kuarahkan tangan kananku pelan-pelan ke tangan kirinya, lalu kugenggam dan kur*mas pelan-pelan.

Dia agak kaget dan menghela napas panjang, seolah tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Pelan-pelan pula, badanku kuhadapkan ke arahnya dan kutaruh tangan kiriku di pinggangnya, lalu wajahku mulai mendekati wajahnya. Aku mulai bisa merasakan nafasnya yang semakin cepat dan tidak beraturan.

Akhirnya dia memejamkan mata, lalu kuc*um lembut keningnya, lalu pipi kanannya, lalu pipi kirinya. Aku terdiam sebentar. Matanya masih tetap terpejam. lalu perlahan-lahan kuc*um bibirnya yang lembut itu. Dia membalas dengan menggerak-gerakkan mulutnya. Aku memeluknya, lalu kami saling meng*lum bibir, lalu memainkan l*dah.., Hmm nikmat sekali.

Beberapa saat kemudian, aku hentikan permainan bib*r itu lalu aku terdiam. Matanya terbuka, tatap matanya serasa seperti bertanya-tanya. Lalu aku menc*umi bibirnya lagi sambil pelan-pelan merebahkannya di atas ranjang. Dia menurut saja, membuatku semakin bern*fsu.

Lalu aku c*um dia pelan-pelan sedangkan tanganku mer*ba-r*ba dan mer*mas-r*mas p*yud*ranya yang cukup besar, “Emhh.., Emh..” dia cuma melenguh saja membuat ga*rahku menjadi semakin naik saja. Segera kusingkapkan T-Sh*rt yang dipakainya ke atas, lalu kuc*umi dan kujil*ti d*d*nya yang aduhai itu,

“Ahh.., Emhh..”, badannya bergoyang-goyang kecil, membuat n*fsuku semakin naik. Waktu mau kubuka kancing **-nya, dia mengangkat badannya sehingga memudahkanku, lalu kujil*ti p*tingnya dan kuhis*p-his*p selama beberapa menit, “Emhh.., Ahh.., Ahh..”

Aku sudah tidak tahan lagi, langsung kubuka celana panjangnya lalu kupelorotkan, kujil*ti kem*lu*nnya dari luar sebentar, lalu segera kupelorotkan juga. Hmm.., ternyata rambut kem*lu*nnya masih lebat, jauh lebih lebat daripada kakaknya, sedangkan lub*ng kem*lu*nnya masih sangat rapat.

Ahh.., baru percaya aku kalau dia masih per*wan. Kujil*ti cl*toris v*gin*nya yang sangat mengga*rahkan itu, dia terengah-engah, “Ahh.., Ahh..”, dan sesekali tubuhnya menggel*njang. Kuhis*p-his*p dan kujil*ti bagian dalam lub*ngnya. Hmm.., nikmat sekali, cair*n yang keluar langsung saja kutelan.

Aku sudah tidak sabar lagi, tidak sampai 5 menit aku menjil*ti v*gin*nya, segera kupelorotkan celana panjang dan cel*na d*lamku lalu pelan-pelan kumasukkan pen*sku ke dalam lub*ng sengg*ma Lenny. Uhh.., agak sulit juga tapi berhubung cair*nnya sudah cukup banyak, akhirnya masuk juga, kurasakan ada sesuatu yang menghalangi laju pen*sku, sepertinya sel*put dar*nya namun kuteruskan saja pelan-pelan.

“Aduh!”, pekiknya. “Lenny, sakit ya? Tahan ya..”, Aku terdiam sebentar, menunggu agar sakitnya hilang, lalu mulai kumasukkan lebih dalam lagi pelan-pelan. “Lenny, masih sakit..?”. “Iya.., tapi sudah agak.., ahh..”, Pelan-pelan sekali kumaju-mundurkan pen*sku di dalam v*gin*nya.

Hmm, benar-benar nikmat.., benar-benar rapat sekali v*gin*nya, menjepit pen*sku yang merasa keenakan. “Ahh.., ahh.., hmmhh..” akhirnya dia mulai merasa nikmat, aku jadi berani mempercepat gerakanku. “Ahh.., Ahh.., Ahh..” Mungkin cuma sekitar 3 menit, dia sudah mulai terangs*ng sekali.

”Ah.., Don.., Ah Don.., Aku sepertinya mau.., ahh..”, Sepertinya dia mau org*sme, akhirnya kupercepat gerakanku dan, “Ahh.., Ahh nikmat Don.., aduh nikmat sekali Don..”. Aku belum org*sme, lalu kutarik pen*sku dan kugesek-gesek sendiri dengan cepat dengan tanganku. “Ahh..”, akhirnya aku org*sme juga, sp*rmaku bertebaran di perutnya.

Setelah kami membersihkan sp*rmaku, kami mandi bersama-sama, setelah itu kami ngobrol-ngobrol juga di atas ranjang, sambil bermesraan layaknya orang pacaran. Tapi sungguHPun begitu, aku tidak mencintai dia sama sekali dan tidak menganggapnya sebagai pacar, walaupun sebetulnya aku sendiri juga belum punya pacar, jahat juga yah aku.

Beberapa puluh menit kemudian pintu diketuk oleh Mas Bagas dan akhirnya kamipun pulang, sampai di rumah sudah sekitar jam 11 malam. Begitu melelahkan.., namun begitu nikmat. Aku baru bisa tidur sekitar jam 2 pagi, entahlah, membayangkan macam-macam.

Semenjak itu aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya, pernah aku mencoba meneleponnya tapi karena ada gangguan Telkom (suara tidak jelas, crosstalk) maka terpaksa tidak dilanjutkan, dan aku tidak pernah meneleponnya lagi. Tanggal 26 Mei kemarin aku pulang ke kota K. Mungkin nanti awal Juni aku mau ke Surabaya lagi, bertemu dengan dia. “Ahh..”, akan kunantikan saat itu